Minggu, 16 September 2012

Air Mata Di Hari Raya


Maaf ya postingannya baru muncul sekarang.. Tp gpp masih kerasa Hari Rayanyakan.. Baru juga beberapa hari.. Ya ga ?? Ya udh nih ceritanya.. Met membaca aja ya, kalau mau da yg nangis juga gpp ko terserah kalian aja itu mah.. Karena itu hak kalian untuk menangis,, Oke..

            Kita mulai dengan pembukaan.. Chekidot..
Cerpen Sarah Amalia Pratiwi
Assalamualaikum Wr. Wb..

Gak kerasa ya kita udah melewati setengah dari bulan Ramadhan. Itu berarti gak lama lagi kita akan menyambut hari kemenangan bagi Umat Islam, yaitu Hari Raya Idul Fitri yang sekarang sudah 1433 H. Hayyoo siapa yg udah mulai belanja baju baru buat lebaran angkat tangannya coba.. Hehehehe :D
Ngomong-ngomong soal Lebaran, gue mau share CERPEN terbaru gue. Semoga CERPEN ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi buat kita semua ya.. 

******

Air Mata di Hari Raya

Sebulan penuh sudah aku dan umat Islam yang lain menjalankan kewajiban kami, berpuasa di Bulan Ramadhan. Besok adalah hari dimana semua manusia akan kembali pada fitrahnya. Sejak petang, suara takbir dan tahmid tidak henti-hentinya berkumandang. Ya karena malam ini adalah malam takbiran. Malam terakhir di bulan Ramadhan. Dan malam ini kembali mengingatkanku pada sebuah penyesalan yang tak akan pernah bisa aku lupakan. Ingatan tentang hari raya tahun lalu membuat air mataku tak mampu terbendung lagi.

*****
Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1431 H

Sejak adzan Subuh berkumandang, orang-orang sudah mulai mendatangi Mesjid. Mereka bergegas karena tidak mau ketinggalan melaksanakan Shalat Idul Fitri (biasa di singkat si Shalat IED). Begitupun dengan Ibu, Bapak, aku dan adik laki-laki ku. Kami sudah berada di Mesjid sejak pukul 6 pagi. Aku dan Ibu bergabung bersama jamaah wania lainnya di tempat khusus wanita. Sedangkan Bapak dan adik ku di tempat khusus jamaah laki-laki. Waktu sudah menunjukan pukul 06.45. Dan Sholat IED akan dimulai pukul 07.00.
Suara takbir dan tahmid masih terdengar. Dari kejauhan aku melihat adikku berlari kecil menghampiri kami. Dengan setengah merengek, ia meminta Ibu untuk mengantarnya ke kamar kecil. Seperti yang sudah ku duga, Ibu menyuruh ku untuk mengantar adikku. Padahal sebentar lagi Shalat IED akan segera dimulai. Dan aku ingin sekali melaksanakan Shalat sunah yang hanya setahun sekali ini.

“Mbak Nisa, tolong antarkan adikmu ke kamar mandi ya. Kasihan kan dia sudah kebelet. Paling juga hanya sebentar.” Ibu menatapku.

“Kenapa enggak Ibu aja yang nemenin adik?” aku menolak permintaannya.

“Mbak Nisa, Ibu minta tolong sekali ini saja ya. Mbak Nisa mau kan bantuin Ibu?”

Aku pun tidak bisa menolak lagi. Dengan perasaan terpaksa, aku mengantar adikku ke kamar kecil. Baru saja aku dan adikku sampai di kamar kecil, terdengar suara iqamah pertanda shalat akan segera dimulai. Aku menyuruh adikku agar bergegas, tapi dia malah rewel dan tidak mau kembali kedalam Mesjid. Mesjid sudah penuh sesak dipadati orang-orang yang ingin melaksanakan Shalat Ied. Alhasil, aku tidak bisa kembali ke shaf tempatku semula dan aku pun tidak dapat mengikuti Shalat Ied berjamaah.

Tak terbayang betapa kesal dan marahnya aku saat itu. Akhirnya aku putuskan mengajak adikku kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, aku membanting pintu kamar dan menguncinya. Sepuluh menit kemudian terdengar seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Nis.. Nisa.. Buka dong saying.. Ini Ibu. Ibu mau ngomong sama kamu.” Ibu mulai membujukku.

“Gak mau. Ibu jahat! Gara-gara Ibu, Nisa jadi gak ikut Shalat Ied.” Aku marah sejadi-jadinya.

“Iya, Ibu tau Ibu salah. Ibu minta maaf ya sayang.”

“Gak mau. Pokoknya aku benci sama Ibu!”

Akhirnya Hari Raya itu pun hanya aku lewatkan dengan mengurung diri di kamar. Aku masih belum bisa meredakan amarah dan rasa kesal ku.

*****

            Satu bulan telah berlalu semenjak peristiwa itu. Aku sudah melupakannya dan hubungan ku dengan Ibu sudah kembali seperti dulu. Namun kini Ibu menjadi sering sakit sakitan. Sudah 2 hari beliau terbaring di tempat tidurnya. Kebetulan hari ini sekolah libur. Aku memutuskan untuk menemani Ibu.

“Bagaimana kondisi Ibu? Apa Ibu sudah merasa baikkan?” aku duduk disampingnya.

“Ibu sudah tidak apa apa kok. Ibu cuma kecapean aja. Oh iya, ada yang mau Ibu omongin ke kamu, Nis.” Suara Ibu terbata bata.

“Ada apa, Bu?” aku mulai penasaran.

“Ibu mau minta maaf gara-gara Ibu kamu tidak bisa mengikuti Shalat Ied tahun ini.”

“Sudahlah, Bu. Nisa udah lupain masalah itu kok.”

“Sebenernya Ibu cuma takut kalau Lebaran tahun ini menjadi Lebaran terakhir untuk Ibu. Ibu ingin mengikuti Shalat Ied untuk yang terakhir kalinya.” perkataan Ibu itu seperti petir di siang hari bagiku.

“Ibu gak boleh bicara seperti itu. Ibu harus yakin kalau Gusti Allah pasti akan memberikan Ibu kesembuhan.” Air mataku pun tak bisa tertahan lagi. Aku memeluknya erat.

            Tepat satu minggu sudah Ibu berbaring di tempat tidurnya. Penyakitnya tak kunjung sembuh. Ibu selalu menolak bila diajak ke dokter. Alasannya, biayanya mahal. Siang itu, aku baru saja pulang dari sekolah. Dari jauh terlihat banyak orang yang mengerumuni rumahku. Perasaanku makin tak menentu. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi. Sesampainya di pintu rumah, Bapak menghampiriku sambil terisak. Aku sudah bisa menebak apa yang terjadi. Benar saja, di ruang tamu rumahku yang tidak terlalu besar Ibu sudah terbujur kaku dibalut dengan kain berwarna putih. Aku tidak kuasa menahan diri. Ku lemparkan tas sekolah dan berlari memeluk jenasah Ibu. Dunia serasa hancur dan langit seperti runtuh. Orang yang selama ini telah menjadi “malaikat” bagiku, kini telah tiada untuk selama-lamanya.

Aku baru tau dari Bapak, ternyata sudah 2 tahun Ibu menderita penyakit Kanker. Dan selama itu pula Ibu merahasiakan penyakitnya dari kami. Ibu tidak mau menambah beban di keluarga ini dan Ibu tidak mau kami mengkhawatirkannya. Aku menangis sejadi-jadinya.

*****

1 Ramadhan 1432 H

            Pukul dua dinihari, aku terbangun dari tidur lelapku. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Malam iini adalah tanggal 1 di bulan suci Ramadhan. Di setiap tahun sebelumnya, Ibu yang setiap malam membangunkan kami sekeluarga untuk menikmati santap sahur bersama. Ibulah yang senantiasa mempersiapkan segala keperluan kami, sehingga kami tidak terlambat untuk bersantap sahur.
            Tapi tidak dengan malam ini, seolah-olah baru kemarin aku melihat senyum manisnya saat membangunkan aku dari tidur lelapku.
Sungguh, Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan terberat yang harus kami lalui. Karena orang yang sangat kami kasihi telah dipanggil oleh-Nya. Setiap malam, aku dan ayah sibuk mempersiapkan santap sahur untuk kami sekeluarga. Akulah yang menggantikan Ibu membangunkan adik-adikku. Saat itu aku bau sadar, betapa sabarnya Ibu kami dulu. Setiap hari di bulan Ramadhan, beliau harus menghadapi berbagai macam sikap kami saat dibangunkan.
            Pernah satu kali, ketika aku dibangunkan, saat itu aku masih duduk di kelas satu SD. Masih segar ingatanku ketika aku membawa serta bantalku karena aku masih sangat mengantuk ketika dibangunkan Ibu untuk sahur. Sayur sop yang tersedia dan tergelar diatas tikar untuk santap sahur kami terpaksa harus terbuang sia-sia karena tak sengaja tertendang olehku saat aku berjalan menuju tikar sambil memejamkan mata. Tapi Ibu tidak marah, dengan sabar Ibu membersihkannya dan menggantinya denganmie instan. Karena memang waktu sahur hanya tinggal beberapa menit lagi. Itulah salah satu bukti bahwa dia memang “malaikat” bagiku.

*****

30 Ramadhan 1432 H

            Sebulan penuh telah kami lalui tanpa kehadiran Ibu. Besok pagi tepat tanggal 1 Syawal. Dan itu berarti besok adalah Hari Raya kami.

            Malam iini pun tak dapat ku pejamkan mata. Teringat saat kuselipkan duka di Hari Raya terakhirku bersama Ibu. Tak pernah ku sangka, kata-kata Ibu waktu itu menjadi kenyataan. Saat Ibu mengatakan bahwa Hari Raya tahun kemarin adala Hari Raya terakhirnya.

            Kupandangi wajah adik adikku yang telah tertidur pulas. Dalam hati, aku berjanji akan selalu menjaga mereka. Mengenalkan mereka pada Sang Pencipta dan Rasul-Nya. Seperti Ibu yang dulu begitu sabar mengenalkan aku kepada cinta-Nya.Karena mereka adalah titipan Ibu untukku. Agar Ibu bahagia melihat kami tumbuh bersama anugrah kasih-Nya. Tak lama kemudian, mata ini pun terpejam.

 *****

Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1432 H

            Hari ini adalah Hari Kemenangan bagi kami umat Islam. Tak ada yang berubah. Semua masih sama. Orang-orang berbondong-bondong datang ke Mesjid untuk melaksanakan Solat Ied. Namun bagiku, Hari Raya tahun ini sangat berbeda. Karena ini adalah Lebaran pertama yang kulewati tanpa kehadiran Ibunda. Namun aku yakin, Ibu telah mendapat tempat yang jauh lebih baik disana. Di Surga. Di sisi Sang Pencipta.
Amiieenn..

*****

Thank’s buat kalian yang udah mau baca CERPEN ini sampe abis.

Trims ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar