Cerpen Guy de Maupassant
Sebelum ngeca mau gua kasih tau ada rahasia di balik potingan
ini .. Mau tau nanget apa mau tau aja ni ??
Jadi gini,
jadi gitu ... Hehehehehehehe *becanda dulu, supaya ga tegang baccanya .. Tapi
jangan serius” deh masih sekolah ... Hahahahahahhaha ngaco bae ya ngomongnya ..
Langsung aja deh kita kupas rahasianya sekarang juga ..
Jadi sebenernya
judul asli cerpen ini tuh “Moonlight” karya Guy de Maupassant (*ada yg kenal ga
?? ).. Cerpen ini diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi, penulis dan pengelola
penerbitan di Jogja.. Guy de Maupassant adalah cerpenis kelahiran Chateau
de ‘ Miromesniel, Dieppe pada 5
Agustus 1850.. (da yg tau ga itu daerah mana yg gua itemin sama miringin ??
Pasti ga da yg tau ya gua juga
sebenernya kaga tau juga si.. :)
Jadi selama
hidupnya, dia telah menulis lebih dari 300 cerita pendek, 6 novel, 3 buku
perjalanan, dan sebuah kumpulan puisi. Maupassant sudah menderita sifilis
semenjak usia 20 tahun. Pada 2 Januari 1892, dia berusaha bunuh diri dengan
menusuk tenggorokannya sendiri. Akhirnya dia meninggal pada tanggal 6 Juli
1893.
Langsung aja rahasia di balik cerpen
ini sudah terungkap, langsung aja ya baca cerpennya .. Slamat membaca ..
Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak
perempuannya, Madame Henriette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan
ke Swiss.
Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu.
Madame Henriette mengizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di
Calvados, karena ada beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan
menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya. Malam pun telah berlalu.
Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca
dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar
suara.
Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam
balutan jaket tebal dan tanpa salam formal, mereka berpelukan dengan penuh
kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling
memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal
lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas
jaket dan topinya.
Malam yang cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu
kecil, dan tak lama kemudian, dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap
wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat
menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan tampak ketakutan.
Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih.
Sisanya, rambut itu tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya
terdapat dua sisiran keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam
yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini
benar-benar mengejutkan dia, semenjak kepergiannya ke Swiss.
Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh
keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya
berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada kakaknya.
Dia
bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette ??"
Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum
seseorang yang patah hati, Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah.
Apakah kamu sedang memperhatikan rambut putihku ini?"
Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya
tajam, dan mengulangi pertanyaannya lagi.
"Apa
yang terjadi padamu ?? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu
berbohong, aku pasti akan mengetahuinya."
Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang
terlihat seolah-olah hendak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut
matanya.
Adiknya
bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab
pertanyaan aku!"
Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab,
"Aku … aku punya seorang kekasih."
Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang
keras mulai mereda, dia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah
hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah
menyesakkan dadanya.
Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini
berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam
keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu
mendengarkan.
"Oh!
Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku
sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah,
adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa
lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen
kelembutan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan
untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan
dengan mudah jatuh.
Kamu
mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang
matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita.
Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna.
Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya
lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap
agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa
membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku.
Semua ini
kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu.
Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku.
Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan
telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu.
Selama satu
bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya
yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa
puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit,
ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang
lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata
kepadanya: ’Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku!’ Dia
hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: ’Tidak ada alasan bagi kita untuk
saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini.’
Dan
kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling
mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang
indah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau
botol yang tersegel rapat.
Suatu malam
(kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala,
Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri
jalan di pinggir danau itu.
Malam itu
berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di
atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan
mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang
berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai
seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa
peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku
semakin kuat.
Aku duduk di
atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu,
seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan
cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang
hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan
seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling
berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap
dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan
untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam
bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini?
Lalu
tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku.
Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku,
dia mengenaliku dan berkata, ’Kamu menangis, nyonya?’
Dialah
pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya
seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.
Kujawab saja bahwa aku sedang sakit.
Dia berjalan
di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku
tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam
kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan
sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip
larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona
dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan
cahaya bulan tengah bernyanyi untukku.
Lalu
terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi.
Aku tidak
bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya
lagi. Dia memberiku sebuah kartu!"
Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu,
Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere,
dengan wajah serius, berkata dengan lembut, "Dengarlah, kakakku,
seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta
itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu."
***
Trimakasih Telah Membaca Cerpen Ini J
Tetep gabung ya di blog gua